25 Agustus 2007
Jakarta, Kompas
Menurut Magnis, perpeloncoan itu suatu kebiasaan yang sudah
cenderung out of control. "Saya tidak punya hubungan batin
dengan perpeloncoan karena saya berasal dari budaya yang tidak
punya perpeloncoan. Sampai saya menjadi besar tidak pernah
merasakan perpeloncoan. Saya merasa Ospek itu harus diawasi
supaya tidak diselundupi nafsu-nafsu rendah militer yang
berpendapat bahwa orang baru bisa dipakai kalau dia pernah
dihina habis-habisan. Kalau macam itu, ya harus ditolak," tutur
Magnis.
Menurut Magnis, Ospek itu cukup memperkenalkan mahasiswa
dengan lingkungan baru. "Sudah, tidak lebih. Di STF Driyarkara
biasa saja. Ada tiga atau empat hari, Bina Keluarga namanya.
Yang jelas, mereka diperkenalkan dengan sistem belajar di sini,
juga ada acara mengenai situasi aktual di Tanah Air," kata Magnis.
Kehilangan Makna
Sosiolog Hotman Siahaan, mengatakan, perpeloncoan adalah suatu
tradisi yang sudah kehilangan makna, cuma bersifat ritualistik.
Perpeloncoan itu tradisi yang datang dari Eropa, terutama dari
Belanda, yang sebenarnya proses inisiasi dalam konteks
pendewasaan. Namun ternyata dalam inisiasi semacam itu terjadi
proses tindakan-tindakan yang kelewat batas karena naluri-naluri
kekuasaan atau sindrom senioritas yang menjadi sangat kuat.
"Perpeloncoan di era sekarang ini sudah tidak cocok lagi dilakukan
karena masih banyak cara yang bisa dipakai untuk melakukan ritual
inisiasi yang lebih intelektual dan tidak bersifat fisik seperti itu. Ini
'kan sangat fisikal, memakan korban, dan sudah ke sekian kali
terjadi terus. ITB pernah, ITS pernah," ujar Siahaan.
Dalam Ospek perlu digelar acara-acara yang lebih bersifat
intelektual, seperti ceramah atau pengenalan.
"Katakanlah dalam Ospek orang disuruh latihan untuk ke lapangan,
saling berkenalan, latihan mewawancarai orang, latihan memimpin,
berseminar, berdiskusi, berdialog. Banyak acara bisa dilakukan
daripada hanya sekadar disuruh push up atau kalau yang dari latar
belakang ilmu alam disuruh pegang bahan kimia," ucapnya.
Tidak ada perpeloncoan
Sementara itu, J Drost SJ menuturkan, pada saat ia menjadi
mahasiswa baru di Fakultas Fisika, Matematika dan Astronomi
(FIPA) Universitas Indonesia Kampus Bandung pada tahun 1952
(yang kemudian menjadi ITB), pada masa itu tidak ada
perpeloncoan.
"Waktu saya mahasiswa di Bandung, masih menggunakan sistem
seperti di mana-mana di dunia bahwa universitas hanya untuk
belajar. Tidak ada apa-apa. Universitas hanya untuk
pengembangan intelektual.
Jika sebagai pribadi membutuhkan pengembangan
kemasyarakatan, di seluruh dunia itu diberikan dalam perhimpunan
mahasiswa. Di sini ada HMI, PMKRI, atau GMNI. Tetapi jika
Anda mau berkembang dan memilih masuk perhimpunan
mahasiswa, ada perpeloncoan ketika akan memasuki perhimpunan
itu. Ini juga berlaku di luar negeri," kata Drost.
Tahun 1957
Perpeloncoan baru muncul di kampus-kampus Indonesia pada
tahun 1957. Menurut Drost, perpeloncoan adalah sistem komunis
yang dipertahankan oleh mahasiswa yang seolah antikomunis dan
melanggar hak asasi manusia.
"Komunis pada masa itu tidak bisa menguasai mahasiswa. Ada
CGMI, tetapi ini kecil. Kemudian atas desakan komunis, Priyono,
Menteri Pendidikan masa itu, mendapat dukungan dari Soekarno
untuk memasukkan kegiatan mahasiswa non-studi ke dalam
universitas. Kemudian itu ditentang oleh mahasiswa UI kampus
Bandung, juga oleh Prof Slamet Imam Santoso. Sangat ditentang.
Tetapi akhirnya tetap jalan. Jadi ini sistem komunis, dan sampai
hari ini dipertahankan," kata Drost. (lok)
© C o p y r i g h t 1 9 9 8 Harian Kompas.
Pada era reformasi sekarang ini, perpeloncoan yang dilakukan
selama masa Orientasi Studi Pengenalan Kampus (Ospek) dinilai
pendidikan dan soal-soal kemasyarakatan mengajukan pendapat
yang beragam, dari menganggap Ospek sudah disisipi nilai-nilai
militeristik sampai ke pandangan bahwa perpeloncoan adalah
"sistem komunis".
selama masa Orientasi Studi Pengenalan Kampus (Ospek) dinilai
sudah tidak cocok lagi karena yang mengedepan hanyalah naluri
kekuasaan. Untuk itu perpeloncoan harus dihapus. Para pemikirpendidikan dan soal-soal kemasyarakatan mengajukan pendapat
yang beragam, dari menganggap Ospek sudah disisipi nilai-nilai
militeristik sampai ke pandangan bahwa perpeloncoan adalah
"sistem komunis".
Prof Frans Magnis Suseno SJ, Guru Besar Filsafat Sekolah Tinggi
Filsafat Driyarkara, Jakarta, J Drost SJ, pakar pendidikan, dan
Hotman Siahaan, sosiolog dari FISIP Universitas Airlangga,
Surabaya, dihubungi Kompas, Kamis (26/8), sehubungan
meninggalnya mahasiswa baru Jurusan Teknik Mesin D3 Institut
Sains dan Teknologi Nasional (ISTN), Suryowati Hagus, hari
Selasa (24/8) ketika sedang mengikuti Ospek.
Filsafat Driyarkara, Jakarta, J Drost SJ, pakar pendidikan, dan
Hotman Siahaan, sosiolog dari FISIP Universitas Airlangga,
Surabaya, dihubungi Kompas, Kamis (26/8), sehubungan
meninggalnya mahasiswa baru Jurusan Teknik Mesin D3 Institut
Sains dan Teknologi Nasional (ISTN), Suryowati Hagus, hari
Selasa (24/8) ketika sedang mengikuti Ospek.
Menurut Magnis, perpeloncoan itu suatu kebiasaan yang sudah
cenderung out of control. "Saya tidak punya hubungan batin
dengan perpeloncoan karena saya berasal dari budaya yang tidak
punya perpeloncoan. Sampai saya menjadi besar tidak pernah
merasakan perpeloncoan. Saya merasa Ospek itu harus diawasi
supaya tidak diselundupi nafsu-nafsu rendah militer yang
berpendapat bahwa orang baru bisa dipakai kalau dia pernah
dihina habis-habisan. Kalau macam itu, ya harus ditolak," tutur
Magnis.
Menurut Magnis, Ospek itu cukup memperkenalkan mahasiswa
dengan lingkungan baru. "Sudah, tidak lebih. Di STF Driyarkara
biasa saja. Ada tiga atau empat hari, Bina Keluarga namanya.
Yang jelas, mereka diperkenalkan dengan sistem belajar di sini,
juga ada acara mengenai situasi aktual di Tanah Air," kata Magnis.
Kehilangan Makna
Sosiolog Hotman Siahaan, mengatakan, perpeloncoan adalah suatu
tradisi yang sudah kehilangan makna, cuma bersifat ritualistik.
Perpeloncoan itu tradisi yang datang dari Eropa, terutama dari
Belanda, yang sebenarnya proses inisiasi dalam konteks
pendewasaan. Namun ternyata dalam inisiasi semacam itu terjadi
proses tindakan-tindakan yang kelewat batas karena naluri-naluri
kekuasaan atau sindrom senioritas yang menjadi sangat kuat.
"Perpeloncoan di era sekarang ini sudah tidak cocok lagi dilakukan
karena masih banyak cara yang bisa dipakai untuk melakukan ritual
inisiasi yang lebih intelektual dan tidak bersifat fisik seperti itu. Ini
'kan sangat fisikal, memakan korban, dan sudah ke sekian kali
terjadi terus. ITB pernah, ITS pernah," ujar Siahaan.
Dalam Ospek perlu digelar acara-acara yang lebih bersifat
intelektual, seperti ceramah atau pengenalan.
"Katakanlah dalam Ospek orang disuruh latihan untuk ke lapangan,
saling berkenalan, latihan mewawancarai orang, latihan memimpin,
berseminar, berdiskusi, berdialog. Banyak acara bisa dilakukan
daripada hanya sekadar disuruh push up atau kalau yang dari latar
belakang ilmu alam disuruh pegang bahan kimia," ucapnya.
Tidak ada perpeloncoan
Sementara itu, J Drost SJ menuturkan, pada saat ia menjadi
mahasiswa baru di Fakultas Fisika, Matematika dan Astronomi
(FIPA) Universitas Indonesia Kampus Bandung pada tahun 1952
(yang kemudian menjadi ITB), pada masa itu tidak ada
perpeloncoan.
"Waktu saya mahasiswa di Bandung, masih menggunakan sistem
seperti di mana-mana di dunia bahwa universitas hanya untuk
belajar. Tidak ada apa-apa. Universitas hanya untuk
pengembangan intelektual.
Jika sebagai pribadi membutuhkan pengembangan
kemasyarakatan, di seluruh dunia itu diberikan dalam perhimpunan
mahasiswa. Di sini ada HMI, PMKRI, atau GMNI. Tetapi jika
Anda mau berkembang dan memilih masuk perhimpunan
mahasiswa, ada perpeloncoan ketika akan memasuki perhimpunan
itu. Ini juga berlaku di luar negeri," kata Drost.
Tahun 1957
Perpeloncoan baru muncul di kampus-kampus Indonesia pada
tahun 1957. Menurut Drost, perpeloncoan adalah sistem komunis
yang dipertahankan oleh mahasiswa yang seolah antikomunis dan
melanggar hak asasi manusia.
"Komunis pada masa itu tidak bisa menguasai mahasiswa. Ada
CGMI, tetapi ini kecil. Kemudian atas desakan komunis, Priyono,
Menteri Pendidikan masa itu, mendapat dukungan dari Soekarno
untuk memasukkan kegiatan mahasiswa non-studi ke dalam
universitas. Kemudian itu ditentang oleh mahasiswa UI kampus
Bandung, juga oleh Prof Slamet Imam Santoso. Sangat ditentang.
Tetapi akhirnya tetap jalan. Jadi ini sistem komunis, dan sampai
hari ini dipertahankan," kata Drost. (lok)
© C o p y r i g h t 1 9 9 8 Harian Kompas.

Langganan:
Posting Komentar (Atom)
About Me
Categories
- aLL aBout Me (5)
- aRTiKeL (5)
- DuNia iT (2)
- eVeNT (8)
- HiKMaH HiDuP (3)
- My GaLLeRy (3)
- PRaJa MuDa KaRaNa (1)
- RaLaT (1)
- ReVieW (1)
0 komentar: